Lompat ke konten (Tekan Enter)

medical.internotes

internist – long life learning – sharing spirit

  • Beranda
  • Topik
    • Alergi Imunologi
    • Gastroenterohepatologi
    • Geriatri
    • Ginjal Hipertensi
    • Hematologi Onkologi Medik
    • Kardiologi
    • Endokrin Metabolik
    • Psikosomatik
    • Pulmonologi
    • Reumatologi
    • Tropik Infeksi
  • Rumus/Skor
  • Presentasi
medical.internotes

Profilaksis Paska Pajanan Hepatitis B

oleh Randa Fermadadiperbarui pada 24 Januari 202324 Januari 2023

Menentukan status HBsAg sumber pajanan setelah paparan baik perkutan (ex tertusuk jarum, laserasi, atau gigitan) maupun paparan pada mukosa yang mungkin mengandung virus Hepatitis B harus segera dilakukan. Manajemen paska pajanan virus Hepatitis B tergantung status HBsAg dari sumber pajanan, dan riwayat vaksinasi dan kadar anti HBs pasien yang terpajan. Tabel di bawah ini  menjelaskan rekomendasi profilaksis paska pajanan hepatitis B.

Apabila status HBsAg sumber pajanan (+) maka penanganan yang dianjurkan adalah sebagai berikut. (1) Pada pasien yang terpajan tanpa riwayat vaksinasi hepatitis B : Berikan HBIg intramuskular (Hepatitis Imunoglobulin) satu kali dilanjutkan pemberian vaksinasi hepatitis B 3x (bulan 0, 1, 6). Berikan injeksi HBIg dan vaksinasi hepatitis B pada daerah anatomis yang berbeda. (2) Pada pasien yang terpajan dengan riwayat vaksinasi hepatitis B yang harus dilakukan adalah menentukan kadar anti HBs. Jika kadar anti HBs > 10 miu/ml (Responder) maka tidak memerlukan terapi. Jika kadar anti HBs < 10 miu/ml atau tidak terdeteksi disebut pasien non-Responder. Pada pasien seperti ini dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu pasien terpajan yang baru mendapat satu rangkaian vaksinasi hepatitis B dan pasien terpajan yang sudah mendapat dua rangkaian vaksinasi hepatitis B.  Berikan HBIg intramuscular satu kali dan revaksinasi hepatitis B untuk pasien terpajan yang baru mendapat satu rangkaian vaksinasi hepatitis B). Berikan HBIg 2x dengan jarak 1 bulan untuk pasien terpajan yang sudah mendapat dua rangkaian vaksinasi hepatitis B.

Setelah pemberian vaksinasi hepatitis B (0, 1, 6), hal yang harus dilakukan adalah  memeriksa ulang kadar anti HBs setelah 1-2 bulan. Jarak pemeriksaan ini juga harus 4-6 bulan setelah pemberian HBIg. Tujuannya untuk menghindari terdeteksinya immunoglobulin HBIg tersebut. Bila kadar anti HBs > 10 miu/ml berarti sudah terbentuk imunitas/ kekebalan terhadap hepatitis B. Jika kadar anti HBs < 10 miu/ml atau tidak terdeteksi setelah 1-2 bulan vaksinasi hepatitis B,  CDC menganjurkan pemberian rangkaian vaksinasi hepatitis B kedua (ulang 0, 1, 6). Kemudian lalukan pemeriksaan ulang kadar anti HBs setelah 1-2 bulan kemudian.,

Daftar pustaka.

  1. Chapter 10: Hepatitis B; Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases 14TH Edition (cdc.gov)

Transisi ARV ke regimen Tenofovir, Lamivudine, dan Dolutegravir (TLD) dalam tatalaksana HIV/AIDS

oleh Randa Fermadadiperbarui pada 24 Januari 202313 Februari 2022

Konsep dasar  penatalaksanaan HIV adalah penggunaan kombinasi anti retroviral (ARV). Kombinasi terdiri dari minimal dua nucleoside (and nucleotide) reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) dan obat ketiga golongan lain. NRTIs contohnya tenofovir disoproxil fumarate (TDF), lamivudine (3TC), dan emtricitabine (FTC). Obat ketiga golongan lain adalah non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), protease inhibitors (PIs) dan integrase strand transfer inhibitors (INSTIs). NNRTIs terdiri dari nevirapine and efavirenz (EFV). Protease inhibitors (PIs) seperti lopinavir/ritonavir (LPV/r) atau tazanavir. INSTIs seperti dolutegravir (DTG) dan raltegravir (RAL).

Saat ini regimen pilihan pertama yang di rekomendasikan di Indonesia adalah TDF, 3TC, and EFV yang terdiri dari dua NRTIs dan satu NNRTI. Regimen ini biasa disingkat dengan TLE (tenofovir, lamivudine, efavirenz).

Baru-baru ini WHO merekomendasikan seluruh negara yang menggunakan TLE sebagai regimen lini pertama terapi HIV untuk berpindah ke regimen yang menggunakan dolutegravir sebagai pengganti efavirenz. Regimen ini terdiri dari dua NRTIs dan satu INSTIs, dan disingkat dengan TLD (tenofovir, lamivudine, dolutegravir). TLD adalah fixed-dose combination dengan dosis TDF 300 mg, 3TC 300 mg, dan DTG 50 mg. Kombinasi TLD ini juga direkomendasikan sebagai terapi lini kedua pada pasien yang gagal dengan pengobatan menggunakan efavirenz- atau nevirapine atau pada pasien yang gagal dengan terapi lini pertama yang tidak menggunakan dolutegravir.

TLD lebih superior dari TLE dalam beberapa hal seperti : (1) TLD lebih poten, dapat menekan viral load  lebih cepat dibanding TLE. Delapan puluh satu persen pasien HIV yang memulai terapi dengan regimen yang mengandung dolutegravir mencapai kadar viral load dibawah 50 kopi/ml setelah 3 bulan dibading hanya 61% pada pasien yang menggunakan regimen mengadung efavirenz. (2) TLD lebih dapat bertahan lama karena resiko resistensi obatnya lebih rendah dibanding NNRTIs dan INSTIs generasi sebelumnya. Sehingga, kemungkinan untuk penggunaan obat lini keduanya jadi lebih rendah. (3) TLD lebih nyaman dikonsumis karena ukurannya lebih kecil dan dikonsumsi sekali sehari. (4) TLD lebih dapat ditoleransi karena efek samping yang lebih rendah dibanding efavirenz. (5) TLD memiliki kemungkinan interaksi dengan obat lain lebih rendah dibanding regimen lain.

Karena kelebihan kelebihan diatas, WHO merekomendasikan dolutegravir sebagai terapi yang lebih dianjurkan sebagai terapi lini pertama ataupun terapi lini kedua pada pasien HIV yang sebelumnya gagal dengan pengobatan regimen tanpa dolutegravir. Rekomendasi ini untuk semua populasi termasuk wanita hamil dan wanita usia subur.  TLD diminum sekali sehari pada waktu yang sama dengan atau tanpa makanan.

Daftar pustaka

  1. WHO. Dolutegravir (DTG) and the fixed dose combination of tenofovir/lamivudine/dolutegravir (TLD). Briefing Note, April 2018.

Penyuluhan – Diabetes Melitus Tipe 2

oleh Alexander Kamdiperbarui pada 17 Desember 202017 Desember 2020

Penyuluhan – Diabetes Melitus Tipe 2

Penyuluhan-Diabetes-Melitus-Tipe-2Unduh

Di sini dapat di download ppt penyuluhan diabates melitus tipe 2. Semoga bermanfaat.

Disease Modifying Anti Rheumatic Drug

oleh Alexander Kamdiperbarui pada 15 Desember 202011 Desember 2020
Disease Modifying Anti Rheumatic Drug

Disease Modifying Anti Rheumatic Drug (DMARD) merupakan salah satu modalitas terapi artritis reumatoid.

DMARD memiliki potensi untuk mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi.

Setiap DMARD mempunyai toksisitas masing-masing yang memerlukan persiapan dan monitor yang tepat.

Beberapa DMARD biologik berkaitan dengan infeksi bakteri yang serius, aktif kembalinya hepatitis B dan TB paru.

Daftar Pustaka

Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid – Rekomendasi, 2014

Kriteria Klasifikasi Artritis Rheumatoid

oleh Alexander Kamdiperbarui pada 4 Desember 20204 Desember 2020
Kriteria Klasifikasi Artritis Rheumatoid

Kriteria Klasifikasi Artritis Rheumatoid

Kriteria klasifikasi artritis rheumatoid (AR) sebelumnya menggunakan kriteria ACR pada tahun 1987. Sekarang, acuan untuk diagnosis AR adalah kriteria klasifikasi ACR/EULAR 2010.

Kriteria ini ditujukan untuk pasien AR yang baru. Pada pasien yang memiliki skor kurang dari 6 tidak diklasifikan sebagai AR.

Keterlibatan Sendi pada Kriteria Klasifikasi AR

Keterlibatan sendi pada AR adalah adanya bengkak atau nyeri sendi pada pemeriksaan yang dapat didukung oleh adanya bukti synovitis secara pencitraan.

Sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha, dan pergelangan kaki.

Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, IP ibu jari dan pergelangan tangan.

Sendi yang tidak termasuk kriteria adalah DIP, CMC I, dan MTP I.

Hasil Laboratorium pada Kriteria Klasifikasi AR

Negatif adalah nilai kurang atau sama dengan batas atas ambang batas normal.

Positif rendah adalah nilai di atas ambang batas normal tapi kurang dari 3 kali nilai tersebut. Jika hasil RF hanya positif atau negatif, dianggap sebagai positif rendah.

Positif tinggi adalah nilai lebih tinggi dari 3 kali batas atas.

Daftar Pustaka

Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan pengelolaan artritis reumatoid. 2014.

1

Navigasi pos

Halaman Sebelumnya

Tentang Kami

medical.internotes adalah tempat berbagi catatan-catatan kedokteran, terutama ilmu penyakit dalam.

Ikuti Kami

medical.internotes

Kategori

  • Alergi Imunologi (5)
  • Endokrin Metabolik (11)
  • Gastroenterohepatologi (8)
  • Geriatri (1)
  • Ginjal Hipertensi (8)
  • Hematologi Onkologi Medik (5)
  • Kardiologi (1)
  • Presentasi (2)
  • Psikosomatik (1)
  • Pulmonologi (3)
  • Reumatologi (3)
  • Rumus/Skor (18)
  • Tropik Infeksi (11)

Tag

Acute Heart Failure ANC Anemia Artritis Rheumatoid Autoimun Bilirubin Cairan Child-Pugh-Turcotte CKD Daldiyono Dehidrasi Dengue Fever Dengue Hemorrhagic Fever Diabetes Insipidus Diabetes Melitus DIC Drip Elektrolit Gagal Jantung GERD Hemodialisis Hepatitis Hipertensi Hipertiroid Hipofisis Hipokalemia Hiponatremia Hipotalamus Kalori KID Metode Pierce Penyakit Ginjal Kronik Penyuluhan Profilaksis Rehidrasi Sepsis Sindrom Metabolik Sirosis Hepatis Sistem Biliaris SLE SOFA Tiroid Transfusi Trombosit Wayne

Arsip

  • Januari 2023 (1)
  • Februari 2022 (1)
  • Desember 2020 (3)
  • September 2020 (2)
  • Juli 2020 (1)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (43)

Notes Terpopuler

  • Rumus/Skor

    Drip Norepinefrin (dengan syringe pump)

  • Rumus/Skor

    Drip Dobutamin (dengan syringe pump)

  • Ginjal Hipertensi

    Hipokalemia dan Cara Koreksinya

QUICK LINKS

  • Beranda
  • Topik
  • Rumus/Skor
  • Presentasi

Bagikan Situs

© Hak Cipta 2020 | medical.internotes |The Ultralight | Dikembangkan Oleh Rara Theme.Ditenagai oleh WordPress.